Raksasa Zaman Dulu dan Kini: Dari Haus Darah ke Haus Kuasa

HomeArtikell

Raksasa Zaman Dulu dan Kini: Dari Haus Darah ke Haus Kuasa

"Ucapan Raksasa di Zaman Dahulu:'Mambun wong anak manusia bejulu,'Raksasa modern teriak selalu:'Mambun uang dan kursi perlu.'"(Wasiat No. 62, hlm. 31

Merayakan 10 Tahun Majelis Al-Azizy: 3.000 Jamaah Bersatu dalam Cinta Rasulullah
Politik di Era Media Sosial: Komunikasi atau Manipulasi?
Share

“Ucapan Raksasa di Zaman Dahulu:
‘Mambun wong anak manusia bejulu,’
Raksasa modern teriak selalu:
‘Mambun uang dan kursi perlu.'”
(Wasiat No. 62, hlm. 31)

Pesan ini menyiratkan transformasi nafsu kekuasaan dari masa ke masa. Jika dahulu “raksasa” dikenal sebagai sosok yang kejam dan haus darah, kini ambisi tersebut berubah menjadi kerakusan terhadap kekayaan dan jabatan. “Mambun wong anak manusia bejulu” mencerminkan keganasan fisik untuk menguasai dan menaklukkan orang lain dengan kekuatan kasar. Sosok seperti Raja Jalut dalam kisah klasik adalah contoh nyata raksasa yang tidak segan menindas demi kekuasaan. Sebagai penguasa yang ditakuti, Jalut melambangkan ambisi besar yang mengorbankan nyawa demi keinginan pribadi.

Di era modern, sosok “raksasa” ini mengambil wujud yang berbeda, terlihat dalam sosok seperti Adolf Hitler. Dengan menggunakan propaganda, militer, dan kekuasaan politik, ia memicu perang yang merenggut jutaan nyawa demi dominasi global. Hitler mewujudkan sifat raksasa yang haus darah, namun menggunakan cara-cara modern untuk mengendalikan dan menaklukkan dunia.

Namun, raksasa masa kini sering kali tidak lagi berbentuk kekerasan fisik atau kekuatan militer, melainkan hadir dalam bentuk nafsu terhadap harta dan kedudukan. “Mambun uang dan kursi perlu” adalah gambaran ambisi manusia sekarang yang mengorbankan prinsip dan moralitas demi mencapai kekayaan serta jabatan. TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam Wasiat-wasiatnya memperingatkan kita agar tidak terjebak dalam kerakusan seperti ini:

“Terkadang ingin merebut dunia
Jadi Kepala jadi Pemuka
Jadi Kemudi jadi Utama
Hingga menendang prinsip Agama.”
(Wasiat No. 60, hlm. 31)

“Memang banyaklah si model begitu
Selalu ada setiap waktu
Di saat mengejar fulus dan bangku
Karena imannya memang di situ.”
(Wasiat No. 61, hlm. 31)

Pesan ini mengingatkan bahwa ambisi untuk memimpin dan mengejar jabatan sering kali menggoda seseorang untuk mengorbankan nilai-nilai agama dan integritas. Orang yang mengejar “fulus dan bangku” kehilangan arah, menjadikan kekayaan dan kedudukan sebagai “iman” mereka, serta mengabaikan prinsip dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi.

Dari sosok Raja Jalut hingga Adolf Hitler, dan kini dalam berbagai ambisi modern, sifat “raksasa” tetap ada, hanya bertransformasi mengikuti zaman. Nafsu kekuasaan dan kekayaan terus mengorbankan kemanusiaan dalam berbagai bentuk.

Pesan untuk para calon pemimpin modern, jadilah pemimpin yang berhati nurani, bukan sekadar haus kuasa. Ingatlah, kekuasaan sejati bukanlah untuk ditakuti, melainkan untuk membawa kesejahteraan. Hindari menjadi “raksasa” yang menyisakan luka bagi orang lain; jadilah pribadi yang berjuang demi kemaslahatan, menjunjung tinggi kejujuran, dan menginspirasi dengan ketulusan.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: