Politik di Era Media Sosial: Komunikasi atau Manipulasi?

HomeNews

Politik di Era Media Sosial: Komunikasi atau Manipulasi?

Oleh : SilvianiProdi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Mataram Di zaman sekarang, media sosial telah berkembang menjadi bagian yang tak terpisahk

Kenaikan Gaji Guru 2025: Investasi Cerdas untuk Masa Depan Bangsa
Geger Penemuan Jenazah Bayi di Pancoran Pengempok, Lombok Timur
Take a look at 2022’s Best Clock Radios.
Share

Oleh : Silviani
Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Mataram

Di zaman sekarang, media sosial telah berkembang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi. Platform-platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok tidak hanya digunakan untuk berbagi momen pribadi, tetapi juga telah menjadi sarana utama bagi politisi, partai politik, serta berbagai kelompok kepentingan untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi medan utama dalam kampanye politik, tempat di mana ideologi, visi, dan kebijakan para politisi dijual kepada publik dengan cara yang lebih langsung dan tanpa perantara.

Keuntungan dari platform ini adalah kemampuannya untuk menjangkau audiens yang luas dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan media tradisional. Namun, di balik kemudahan ini, muncul sebuah pertanyaan besar yang perlu kita renungkan bersama: apakah media sosial digunakan sebagai alat komunikasi yang transparan, jujur, dan mendidik, atau justru dipakai untuk manipulasi opini publik demi kepentingan politik tertentu yang bisa saja menyimpang dari kebenaran? Dalam era di mana informasi tersebar dengan cepat dan tanpa filter, penting bagi kita untuk memahami sejauh mana politik di era media sosial bisa dilihat sebagai komunikasi yang benar-benar membangun hubungan dengan masyarakat atau justru sebagai strategi manipulatif yang bertujuan mengubah pandangan publik untuk keuntungan pihak-pihak tertentu. Artikel ini akan mengulas lima poin utama yang bisa memberikan gambaran lebih dalam tentang fenomena ini, mengajak kita untuk merenung lebih jauh tentang dampak politik di media sosial, baik secara positif maupun negatif, serta peran kita sebagai konsumen informasi dalam menilai kebenaran di tengah gempuran narasi yang datang dari berbagai arah.


Media Sosial Sebagai Saluran Komunikasi Langsung
Salah satu alasan utama mengapa media sosial begitu populer di kalangan politisi adalah karena platform ini memberikan akses langsung antara mereka dan masyarakat. Sebelum adanya media sosial, politisi dan partai politik umumnya bergantung pada media massa tradisional seperti televisi, radio, dan surat kabar untuk menyampaikan pesan mereka. Ini berarti ada banyak perantara yang terlibat, dan pesan politik yang sampai ke publik bisa jadi sudah melalui berbagai seleksi atau filter. Namun, dengan media sosial, politisi bisa langsung berbicara kepada pengikut mereka tanpa adanya penyaring atau pengeditan. Masyarakat bisa dengan mudah melihat unggahan, video, atau pernyataan yang dibuat oleh para politisi, serta memberikan tanggapan mereka secara langsung melalui kolom komentar atau fitur lainnya.


Keuntungan utama dari komunikasi langsung ini adalah bahwa politisi bisa membangun kedekatan dengan masyarakat. Mereka bisa merespons masalah yang sedang hangat dibicarakan, atau bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh warga. Ini memberi rasa keterbukaan yang sebelumnya sulit ditemukan dalam komunikasi politik tradisional. Namun, meskipun komunikasi jadi lebih cepat dan mudah, ada juga sisi negatifnya. Tidak jarang, politisi menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan cara yang lebih bersifat superficial atau untuk memperbaiki citra mereka, tanpa benar-benar menyampaikan pesan yang substansial.


Manipulasi Algoritma Media Sosial
Salah satu tantangan besar yang muncul dengan meningkatnya penggunaan media sosial dalam politik adalah bagaimana algoritma media sosial bekerja. Algoritma pada dasarnya dirancang untuk menampilkan konten yang paling menarik atau paling relevan bagi penggunanya, berdasarkan interaksi yang telah terjadi sebelumnya. Ini berarti konten yang paling banyak mendapatkan “likes”, “comments”, dan “shares” akan semakin sering muncul di timeline pengguna. Dalam konteks politik, ini bisa berarti bahwa pesan yang mengandung kontroversi atau yang menimbulkan emosi—seperti kemarahan atau ketakutan—akan lebih sering terlihat oleh banyak orang.


Akibatnya, politisi atau kelompok tertentu mungkin mulai menggunakan taktik yang lebih provokatif untuk menarik perhatian audiens, alih-alih menyampaikan informasi yang konstruktif dan mendalam. Misalnya, isu-isu sensitif seperti agama, ras, atau kebijakan ekonomi yang kontroversial sering kali diangkat karena mereka mampu memicu debat panas dan interaksi yang lebih banyak. Meskipun ini bisa meningkatkan visibilitas politik, dampaknya bisa sangat merugikan. Polarisasi di kalangan masyarakat semakin meningkat, karena orang-orang cenderung hanya berinteraksi dengan informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, memperburuk perpecahan dan ketegangan sosial.

Pencitraan atau Manipulasi Gambar Diri
Media sosial memberi politisi kekuatan untuk menciptakan citra diri yang hampir sepenuhnya terkendali. Mereka bisa memilih gambar, video, atau narasi yang ingin mereka tampilkan ke publik, tanpa ada kendali dari pihak ketiga. Politisasi gambar diri ini sering kali lebih berfokus pada penampilan dan kesan daripada pada kebijakan atau visi yang mereka tawarkan. Di sini, media sosial berperan besar dalam membentuk persepsi publik tentang seorang politisi, kadang-kadang lebih dari sekadar rekam jejak atau substansi dari apa yang mereka lakukan.


Contohnya, seorang politisi bisa mengunggah foto dirinya sedang berinteraksi dengan warga, membantu korban bencana alam, atau terlibat dalam kegiatan sosial. Meskipun tindakan tersebut bisa jadi positif, namun jika terlalu sering ditampilkan di media sosial, ini bisa lebih terlihat seperti strategi untuk memperbaiki citra dan menarik simpati publik, daripada tindakan nyata yang memperjuangkan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana politisi benar-benar peduli pada isu-isu yang mereka angkat atau hanya peduli pada cara mereka terlihat di mata masyarakat. Akhirnya, publik bisa terjebak dalam penggambaran yang dangkal tentang siapa politisi itu, bukannya memahami secara mendalam tentang kebijakan yang mereka bawa.


Penyebaran Hoaks dan Disinformasi
Salah satu dampak paling berbahaya dari penggunaan media sosial dalam politik adalah penyebaran informasi yang tidak benar atau hoaks. Karena siapa saja dapat membuat dan membagikan informasi melalui media sosial, tidak jarang kita menemukan berita palsu yang menyebar dengan cepat. Di dunia politik, hoaks sering kali digunakan untuk menjatuhkan reputasi lawan politik, atau bahkan untuk memanipulasi opini publik mengenai suatu isu tertentu.


Hoaks dan disinformasi bisa menyebar lebih cepat di media sosial daripada di media tradisional. Penyebaran informasi yang tidak terverifikasi ini sangat sulit dibendung, karena media sosial memberi ruang bagi orang untuk berbagi berita atau pendapat tanpa ada filter yang memadai. Misalnya, dalam beberapa kasus, hoaks tentang kebijakan pemerintah, manipulasi pemilu, atau isu sosial dapat memecah belah masyarakat, membuat mereka saling curiga, dan mengurangi kepercayaan terhadap institusi publik. Bahkan setelah kebenaran terungkap, dampak dari hoaks yang telah tersebar bisa bertahan lama, meninggalkan efek negatif yang sulit diperbaiki. Oleh karena itu, media sosial seringkali menjadi medan pertempuran informasi yang membingungkan dan sulit dibedakan antara yang benar dan yang salah.


Pentingnya Literasi Digital untuk Masyarakat
Menghadapi kenyataan bahwa media sosial sering digunakan dalam konteks politik untuk tujuan komunikasi dan manipulasi, maka literasi digital menjadi hal yang sangat penting. Masyarakat perlu dilatih untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis, mampu membedakan antara informasi yang benar dan yang tidak, serta memahami konteks di balik setiap pesan yang diterima. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan teknis menggunakan platform digital, tetapi juga tentang kemampuan untuk menilai kualitas informasi, memahami niat di balik setiap konten yang disebarkan, dan mengetahui bagaimana algoritma bekerja dalam memilih apa yang kita lihat.


Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat memiliki peran besar dalam meningkatkan literasi digital masyarakat. Program-program pelatihan yang mengajarkan cara verifikasi fakta, mengidentifikasi hoaks, dan memahami dampak dari disinformasi harus menjadi prioritas. Selain itu, setiap individu juga perlu bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain, agar mereka tidak menjadi korban atau pelaku dalam penyebaran berita palsu yang dapat merugikan banyak pihak.


Kesimpulan
Politik di era media sosial memiliki dua sisi yang sangat jelas: sebagai alat komunikasi langsung antara politisi dan masyarakat, serta sebagai sarana manipulasi yang dapat merusak demokrasi. Meskipun media sosial memungkinkan komunikasi yang lebih cepat dan lebih terbuka, potensi untuk memanipulasi informasi dan menciptakan citra palsu tidak bisa diabaikan. Tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan media sosial untuk tujuan positif, yaitu untuk membangun komunikasi yang sehat, konstruktif, dan transparan, tanpa terjebak dalam manipulasi atau penyebaran hoaks. Oleh karena itu, literasi digital menjadi kunci utama agar kita bisa menggunakan media sosial dengan bijak dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan. Hanya dengan cara ini kita bisa memastikan bahwa media sosial benar-benar menjadi alat demokrasi yang memperkuat komunikasi politik, bukan sebaliknya, alat untuk manipulasi.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: